UPT P2TP2A Sulsel Tangani Kasus Dugaan TPPO Anak Asal Soppeng di Bontang
/
0 Comments
Dalam kurun waktu - Januari s/d 12 Maret 2020, UPT P2TP2A Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Provinsi Sulawesi Selatan telah menerima 41 aduan. Dari sisi klien, 41 aduan tersebut terdiri atas 21 perempuan dan 20 anak.
Salah satu kasus yang saat ini sedang ditangani dan dikoordinasikan adalah pemulangan seorang anak perempuan asal Kabupaten Soppeng yang mengalami kekerasan seksual, kekerasan fisik, dan dugaan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) atau human trafficking di Kota Bontang, Kalimantan Timur. Korban dengan inisial DRS umur 15 tahun itu kini berada di shelter atau rumah singgah Dinas Sosial Provinsi Kalimantan Timur.
Kasus ini diterima oleh UPT P2TP2A Provinsi Sulawesi Selatan setelah memperoleh informasi dari Pekerja Sosial (Peksos) Kota Bontang pada tanggal 27 Februari 2020. Menurutnya, korban DRS yang berasal dari Kabupaten Soppeng sedang berada di rumah singgah Dinas Sosial Kota Bontang. Peksos Kota Bontang mendapati korban di Alun-alun Kota Bontang dalam keadaan terlantar. Setelah dilakukan assessment, korban pun dibawa ke rumah singgah Dinas Sosial Kota Bontang.
Dari penuturan korban anak DRS, diperoleh informasi bahwa DRS telah melakukan pernikahan siri di Kabupaten Kutai Timur dengan seorang laki-laki berinisial SL yang berusia 68 tahun. Pernikahan mereka difasilitasi oleh tetangga korban di Kabupaten Soppeng yang berinisial SD dengan mahar sebesar Rp. 600.000. DRS dan SL mengaku tidak mengetahui identitas petugas atau pejabat yang menikahkan mereka secara siri.
Dari pihak kepolisian diperoleh informasi dari korban bahwa SD telah melakukan pencabulan terhadap dirinya sejak tahun 2018 atau saat korban berusia 13 tahun. Diduga untuk mengelabui perbuatannya, SD kemudian membawa DRS ke Kalimantan Timur dengan dalih untuk diberikan pekerjaan. Padahal kenyataannya, SD mempertemukan DRS dengan SL dan meminta SL untuk menikahi DRS dengan syarat berupa mahar. Uang yang disebut sebagai mahar diduga diambil oleh SD sebagai syarat agar SL bisa menikahi DRS. Selama bersama SL di Kalimantan Timur, korban juga mengaku kerap mengalami kekerasan fisik yang dilakukan oleh anak perempuan SL yang bernama KM.
Perbuatan persetubuhan terhadap DRS kembali dilakukan oleh SD awal Februari lalu. Saat itu SD mengajak korban DRS pergi dengan menggunakan kapal menuju Kabupaten Mamuju. Setelah melakukan perbuatannya, SD meminta SL untuk menjemput korban di Kabupaten Mamuju. SL pun menyanggupi dan pada tanggal 17 Februari 2020 kembali membawa korban ke Kota Bontang, Kalimantan Timur.
Atas perbuatannya, SD dan SL diduga melanggar Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 81 yaitu dengan sengaja melakukan kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. Ancaman hukuman keduanya adalah 15 tahun penjara.
Orang tua korban membenarkan bahwa DRS pergi dengan SD karena dijanjikan akan diberikan pekerjaan di Kalimantan Timur. Namun orang tua DRS tidak mengetahui bahwa sebenarnya DRS telah mengalami kekerasan seksual oleh SD dan SL dengan modus nikah siri. Pada tanggal 27 Februari 2020, orang tua DRS dengan didampingi oleh Sakti Peksos Anak dan Dinas Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kabupaten Soppeng melaporkan SD ke Polres Soppeng dengan dugaan membawa anak dibawah umur.
Saat ini korban masih berada di Kalimantan Timur karena masih menunggu proses hukum yang sedang berjalan. Setelah proses hukum selesai, akan dilakukan penjemputan terhadap korban dan untuk dikembalikan kepada keluarganya di Kabupaten Soppeng. Terlaksananya proses penjemputan terhadap korban tidak terlepas dari kerjasama semua pihak dan setelah melalui koordinasi dengan DP3A Provinsi Kalimantan Timur berikut Dinas atau OPD terkait di Provinsi Kalimantan Timur dan Provinsi Sulawesi Selatan. *)