Pemulihan Anak Korban Kekerasan (Penanganan Kasus Penganiayaan Balita Pada UPT PPA Sulsel)
Pada bulan lalu kita dikejutkan dengan berita penganiayaan seorang anak di Kota Makassar berinisial GY. Balita berumur setahun itu menjadi korban kekerasan fisik berupa pemukulan pada beberapa bagian tubuhnya yang dilakukan oleh RP, pacar dari ibu kandung korban. Pelaku telah ditahan di Polsek Panakkukang.
GY merupakan anak SA dari pernikahan pertamanya yang hanya bertahan setahun. Penganiayaan dilakukan pada tanggal 8 Februari 2021 malam. Korban dianiaya hingga mengalami luka memar pada bagian wajah dan sekujur tubuh. Diduga pelaku telah berulang kali melakukan kekerasan terhadap korban.
Korban kemudian dibawa ke RS Bhayangkara untuk dirawat secara intensif. Selain mendapat perawatan medis, korban juga mendapat pendampingan dari Unit Pelaksana Teknis Perlindungan Perempuan dan Anak Provinsi Sulawesi Selatan (UPT PPA Sulsel) untuk memantau kondisi fisik dan psikologisnya. Proses hukum juga harus dipastikan berjalan melalui pendampingan hukum dan koordinasi dengan pihak kepolisian.
Setelah mendapat perawatan medis di RS Bhayangkara, GY bersama ibunya ditempatkan di rumah aman UPT PPA Sulsel. Layanan rumah aman diberikan guna menjamin pemulihan dan rasa aman bagi korban dan ibunya. Selain itu, SA tidak mempunyai tempat tinggal tetap. SA tidak bisa kembali kepada orang tuanya karena dianggap telah melakukan pelanggaran adat atau siri’.
Upaya Pemulihan
Penanganan kasus GY tidak hanya berfokus pada persoalan hukum. Intervensi UPT PPA Sulsel melalui Psikolog juga dilakukan kepada SA, ibu kandung GY. Meskipun telah memiliki anak, secara psikologis SA sangat labil dan tidak mandiri. Selain itu, dalam menjalin hubungan dengan seseorang SA cenderung mengabaikan perlindungan kepada anaknya.
Disinilah pentingnya intervensi psikologi. SA sebagai orang yang akan merawat GY harus diberikan pemahaman bahwa tanggung jawab seorang ibu tidak sekadar membesarkan, tetapi juga mendidik dan melindungi anak. Termasuk di dalamnya adalah mendapat perlindungan dari perlakuan kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan.
SA harus lebih selektif dalam menjalin hubungan dengan seseorang karena telah memiliki anak. Harus dipastikan bahwa orang tersebut juga dapat menerima dan memberikan kasih sayang kepada GY. Intervensi psikologi diharapkan dapat mengubah perilaku SA ke arah yang lebih baik untuk kebaikan dirinya maupun anaknya.
Upaya selanjutnya adalah pengembalian SA dan anaknya kepada keluarganya atau reintegrasi. Intervensi yang dilakukan melalui konferensi kasus (case conference) dan pertemuan keluarga (family meeting). Konferensi kasus diikuti oleh beberapa pihak yang terkait dengan kasus untuk memastikan tindakan yang akan ditempuh.
Sedangkan pertemuan keluarga melibatkan korban dan keluarga besar serta pengambil keputusan lainnya, misalnya aparat desa atau aparat keamanan. Keputusan yang diambil dengan memperhatikan aspek keselamatan, permanensi, dan kesejahteraan korban.
Kini SA dan anaknya sudah kembali kepada keluarga besarnya setelah dilakukan pemulangan atau reintegrasi pada tanggal 5 Maret 2021. Intervensi UPT PPA Sulsel melalui pertemuan keluarga menghasilkan kesepakatan bahwa orang tua SA menerima kembali kehadiran anaknya. Syaratnya, SA mau berubah dan tidak mengulangi perbuatan yang melanggar adat atau siri’.
Penanganan kasus GY dan kasus-kasus kekerasan terhadap perempaun dan anak harus dilakukan secara menyeluruh. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia mengembangkan layanan tersebut dengan standar pelayanan “Cekatan”, yaitu cepat, tepat, tuntas, dan terintegrasi. Tujuannya agar anak korban kekerasan dapat pulih dan kembali menikmati hak-haknya. *)